Minggu, 16 Oktober 2011

Vanilla Latte

Aku merasakanmu
Di dalam secangkir vanilla latte yang baru saja kau seduh
Airnya mendidih, diam-diam panasnya cangkir merambat sampai ke hatiku
Inilah vanilla latte yang legendaris itu
Vanilla latte yang membawaku memasuki sudut kafe tanpa nama di penghujung Rabu.

“Moriska.”
Kamu memperkenalkan diri saat kuminta. Rambutmu dikucir kuda di atas telinga. Tepat di puncak kepalamu, sebuah bandana merah bertengger manja. Suara tawamu beradu lepas di udara.
Aku menolak menyebut namaku. Kau pun segera berlalu karena datangnya seorang tamu.
Aku menyerahkan lembaran dua puluh ribu. Mengambil kunci mobil dan tumpukan buku. Rupanya kau berbalik dan mengikuti jejakku. Mengamatiku dari sol sepatu hingga lebar bahu. Langkahmu semakin dekat dan terburu-buru.
“Tunggu!”
Aku tersenyum. Nafasmu seperti dieja satu-satu. Ponimu lekat di kening karena berkeringat. Seberapa jauh kau mengejarku?
“Mungkin tidak sopan, tapi aku harus tahu namamu. Aku sudah memberitahu namaku.”
Nama? Seberapa banyak itu berarti untukmu? Aku memasukkan kunci mobil ke saku. “Suli.”
Kamu mengernyitkan dahimu yang lebar itu. “Siapa?”
“Aku sudah menyebut namaku. Sampai jumpa.”
Dan tertinggallah kamu disitu. Dengan namaku menggenangi  isi kepalamu.

Dua minggu kemudian aku tidak mengunjungimu.
Sepertinya naluriku sengaja membuatmu ragu. Mencari tahu apakah mungkin aku bisa membuatmu rindu. Dan sepertinya itu berbalik jadi jurus makan tuan untukku.
Aku bersandar di mobilku. Memandangimu dari jendela kafe yang berdebu. Dan perasaan itu semakin menggebu-gebu. Tak ada salahnya untuk datang dan menikmati vanilla lattemu yang legendaris itu.

Jadi sepatu ini menyeretku melangkah menuju pintu.  Hari ini tak terlalu banyak tamu. Kau melayaniku dan bersikap pura-pura tidak tahu. Aku memesan yang selalu kupesan di hari Sabtu. Dan selalu kupesan lagi di hari lainnya, kau juga tahu.
Vanilla latte.
Vanilla latte yang membawaku ke hatimu.

Tapi ada sesuatu yang salah.

Di dalam cangkir itu aku tak lagi merasakanmu
Suhunya sedingin es batu, rasanya seasin garam di laut
Aku mengira lidahku menipu
Tapi semua orang menyumpah dan menolak membayar walau hanya beberapa ribu

Aku menatap cangkir yang isinya baru setengah diminum itu. Semua campur aduk di dalam diriku. Tidak, aku merasakanmu. Aku merasakan dirimu yang berbeda. Aku merasakan perasaanmu yang membeku dan air matamu yang menetes jatuh ke dalamnya.

Aku bertanya, “Mengapa?”
Kau menelan ludah dan berkata, “Aku sudah berbadan dua.”
Aku terbelalak, “Siapa?”
Kau menangis dan menjawab, “Pria di meja nomor dua.”

Aku ditelan kegelapan.
Dua minggu aku tak datang.
Dan dia sudah menjadi milik orang.
Dengan tubuhnya sekalian.

Vanilla latte itu membisu di hadapanku.
Vanilla latte yang legendaris itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar